Untuk membayangkan efek rumah kaca ini sangat mudah. Mungkin ada di antara anda yang sudah pernah merasakan bagaimana ketika pertama kali memasuki sebuah mobil yang diparkir di tempat yang panas. Temperatur di dalam mobil akan terasa lebih panas daripada temperatur di luar, karena energi panas yang masuk ke dalam mobil terperangkap di dalamnya dan tidak bisa keluar.
Pada kondisi yang normal, efek rumah kaca adalah "baik" karena dengan demikian Bumi akan menjadi hangat dan dapat menjadi tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa efek rumah kaca, bagian Bumi yang tidak terkena sinar matahari akan menjadi sangat dingin seperti di dalam freezer lemari es anda (-18C). Sejarah terbentuknya Bumi hingga bisa ditempati oleh manusia seperti saat ini sebenarnya tak lepas dari 'jasa' efek rumah kaca. Jadi sebenarnya yang namanya efek rumah kaca itu sudah ada sejak jaman dahulu kala seiring dengan proses terbentuknya Bumi.
Kondisi akan menjadi tidak baik jika kandungan gas-gas rumah kaca di atmosfer Bumi semakin hari semakin meningkat. Kenapa demikian? karena dengan semakin meningkatnya gas-gas rumah kaca, semakin memanas pula Bumi, akibatnya akan terjadi pencairan es di daerah kutub yang dapat menenggelamkan sebagian daratan tempat manusia dan makhluk-makhluk hidup darat lainnya tinggal.
Gas rumah kaca yang saat ini banyak disalahkan oleh sebagian ahli pengusung isu pemanasan global adalah gas CO2 di atmosfer. Sementara sebagian ahli lain berpendapat bahwa sebenarnya jumlah CO2 di atmosfer tidak cukup signifikan untuk dijadikan "kambing hitam" pemanasan global karena jumlahnya yang hanya 0.04%. Selain itu, para ahli ini juga menyatakan bahwa seluruh gas yang ada di atmosfer adalah gas rumah kaca, tanpa terkecuali dimana komposisi terbesar adalah nitrogen (78%), oksigen (21%) dan uap air (hingga 3%). Nah lo, pusing kan jadinya? Santai, tidak perlu pusing...
Lalu, apakah yang menyebabkan meningkatnya kandungan karbon dioksida dan partikel polutan di atmosfer? Ternyata kontribusi terbesar adalah akibat pemakaian bahan bakar fosil seperti batubara, gas dan minyak Bumi. Ketiga jenis bahan bakar tersebut adalah yang paling murah saat ini jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Pemakaiannya pun dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang sangat berarti setelah tercetusnya revolusi industri. Apalagi kalau sekarang kita sering merasakan kemacetan di mana-mana akibat jumlah kendaraan bermotor dan "bermobil" yang meningkat. Pabrik/industri yang tumbuh di mana-mana untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat modern yang semakin hari semakin meningkat. Namun hal ini juga disangkal oleh sebagian ahli. Menurut mereka, kontribusi dari penggunaan bahan bakar fosil di seluruh dunia dalam menambah jumlah CO2 hanyalah 0,013% (sedikit sekali bukan?). Wah jadi makin seru deh sampai di sini...
Pro dan kontra terus terjadi, namun demikian seiring dengan adanya Protokol Kyoto (1997), Beberapa negara maju sepakat untuk mengurangi jumlah emisi gas CO2 dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil sebanyak 30% dalam 10 tahun ke depan. Untuk itu saat ini beberapa negara maju/industri telah mencoba mengembangkan metode dan teknologi dalam rangka memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif yang (lebih) ramah lingkungan, terutama sumber energi yang terbarukan.
Apa itu energi terbarukan? Energi terbarukan adalah lawan kata dari energi tak terbarukan (anak kecil juga tahu kalau gitu sih). Jadi begini, energi terbarukan adalah energi yang dapat dipakai secara terus- menerus tanpa perlu kuatir sumber dari energi tersebut akan habis. Lawan katanya adalah energi tak terbarukan yaitu energi yang jika dipakai secara terus-menerus akan habis pada suatu waktu tertentu. Jadi jelas kan sekarang? Apa saja contoh dari energi terbarukan? banyak sekali, seperti energi angin, matahari, panas bumi, air, dan biomassa (berasal dari tanaman perkebunan, pertanian, hutan, sampah, dan peternakan).
Sebenarnya, secara alamiah di alam, akibat adanya interaksi antara laut dan udara (seperti TNI aja ya?), jumlah energi panas yang ada di atmosfer dan di permukaan laut akan dapat dikontrol oleh mekanisme global conveyor belt. Apa itu global conveyor belt? Global conveyor belt adalah sirkulasi global yang berperan dalam mentransfer (memindahkan) energi panas dari suatu tempat ke tempat lainnya melalui aliran udara dan air laut. Pola iklim di bumi diatur oleh mekanisme ini.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa 'ketakutan' dan analisis sebagian ahli akan pemanasan global selama ini masih baru didasarkan melulu pada hasil model numerik yang belum secara 'sungguh-sungguh' dibandingkan dengan data pengamatan. Selain itu, kebanyakan model yang digunakan saat ini masih jauh dari sempurna dalam merumuskan mekanisme rumit sesungguhnya yang terjadi di Bumi.
Memang pemanasan global sedang dan terus akan terjadi, demikian juga dengan efek rumah kaca. Mencairnya es yang terbentuk sejak jaman es pun terus berlangsung karena memang temperatur bumi mengalami perubahan dari semenjak es itu dahulu terbentuk, permukaan laut pun terus mengalami kenaikan (yang dikenal dengan istilah sea level rise). Siklus seperti itu terus terjadi dan takkan terhindarkan. Sebagian pakar menyatakan bahwa fenomena itu masih merupakan suatu kewajaran yang memang harus terjadi dan tak perlu ditakutkan, sementara itu pakar yang lain -seperti yang telah saya tuliskan di atas- menyatakan bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini "kecepatan" dari fenomena ini meningkat dan berada pada level yang "sangat mengkhawatirkan", artinya jika "masa mengkhawatirkan" ini tidak segera diredam, maka ke depannya peradaban manusia akan mengalami masalah yang serius.
Jadi memang tak ada salahnya untuk membuat suatu aksi yang positif. Setidaknya, dengan mengurangi emisi CO2 dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil serta mencoba alternatif energi ramah lingkungan dan terbarukan, akan menjadikan Bumi sedikit bersih dari polutan yang telah membuat manusia sesak nafas dan teracuni paru-parunya. Apalagi untuk Indonesia yang saat ini berada pada tingkat polusi yang katanya sudah agak membahayakan bagi kesehatan penduduknya.
Pemanasan Global dan Membekunya Eropa
Ada sebuah artikel menarik dari Science Daily yang pernah saya baca yang membahas tentang dampak dari pemanasan global di Eropa. Artikel ini ditulis berdasarkan pada hasil simulasi numerik jangka panjang tentang apa yang akan terjadi jika laju penambahan gas rumah kaca terus bertambah di atmosfer Bumi. Dalam jangka panjang, ternyata Eropa akan semakin dingin jika pemanasan global terus berlangsung. Pertanyaannya adalah: “Apa yang menyebabkan Eropa akan semakin dingin?â€
Untuk membahas masalah ini, sebelumnya anda perlu tahu tentang apa yang disebut dengan Great Ocean Conveyor Belt, yaitu sebuah sirkulasi laut global yang di dalam sirkulasi tersebut terjadi pemindahan energi panas yang diserap oleh laut dari daerah tropis -yang mengalami radiasi matahari yang relatif tetap sepanjang tahun- ke daerah lintang menengah dan tinggi yang menerima energi radiasi matahari yang berbeda pada saat musim dingin dan panas (akibat sumbu rotasi bumi yang membentuk sudut 23.5 derajat terhadap garis edarnya).
Akibat suhu yang dingin di sekitar kutub utara (Greenland), maka akan terjadi pembekuan air laut. Pembekuan air laut ini akan melepaskan garam yang terkandung di dalam air laut tersebut (oleh sebab itu, kenapa es di kutub tidak berasa asin karena garamnya tidak ikut membeku). Pelepasan garam ini akan menjadikan salinitas air laut menjadi lebih tinggi sehingga densitas air laut di sana pun menjadi lebih tinggi pula, akibatnya massa air laut akan turun (dikenal sebaga fenome sinking atau downwelling atau bisa juga disebut sebagai arus laut yang bergerak ke kedalaman). Kekosongan akibat turunnya massa air laut yang memiliki densitas yang besar tersebut akan diisi oleh massa air laut di sekitarnya, yaitu dari daerah lintang yang lebih rendah atau daerah tropis. Air laut di tropis yang hangat inilah yang menjadikan iklim di lintang menengah dan tinggi tetap cukup hangat.
Pemanasan global akan menyebabkan terjadinya pencairan es di kutub. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah air, sehingga terjadi pengenceran air laut. Akibatnya, densitas air laut menjadi berkurang sehingga proses sinking atau downwelling pun akan melemah. Melemahnya proses ini akan mengurangi jumlah air hangat yang masuk dari daerah tropis. Akibat selanjutnya, iklim di lintang menengah dan tinggi tidak lagi sehangat sebelumnya, dan ini yang akan memicu terjadinya Eropa yang membeku dalam jangka panjang.
Nah, kalau Eropa akan membeku dalam jangka panjang akibat pemanasan global, lalu apa yang akan terjadi dengan daerah tropis? Mungkin lain kali saya akan bahas hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar