Cerpen Anak Bobo
Apr 14, 2012Majalah Bobo adalah majalah yang diperuntukkan anak-anak Indonesia, isi majalah Bobo sangatlah bagus untuk anak-anak, isinya mendidik anak-anak untuk bersikap yang baik sopan, selain itu di majalah Bobo juga terdapat ilmu pengetahuan yang mudah dicerna oleh anak-anak. Majalah Bobo juga terdapat cerpen anak yang terkadang ceritanya ditulis oleh anak-anak juga. Berikut ada cerpen anak yang berjudul "Klub Batu Karang". Selamat membaca...
Cerita Anak : Klub Batu Karang
Suatu malam, ketika masih duduk di kelas dua, aku melihat suatu berita yang sangat menganggu perasaanku, yakni tentang sejumlah orang yang tidak mempunyai rumah dan mesti tidur kedinginan di luar, tak punya tempat untuk menghangatkan diri yang nyaman. Aku kasihan sekali kepada mereka, dan ingin menolong. Maka aku memustuskan untuk membentuk sebuah klub. Tujuannya adalah mengumpulkan uang untuk membantu para tunawisma. Klub itu aku namakan klub Batu Karang. Ketika baru dimulai, anggotanya hanya lima orang, tapi dengan cepat bertambah menjadi sekitar dua puluh orang. Tidak sulit mengajak orang bergabung dengan klub kami. Boleh dikatakan aku tidak perlu mengajak siapapun untuk menjadi anggota. Mereka datang begitu saja padaku dan bertanya apakah bisa bergabung.Kami menggunakan seluruh waktu istirahat siang kami untuk melukis batu karang - membuat gambar binatang, bunga dan bentuk-bentuk lainnya - bahkan juga nama-nama tim olahraga. Pokoknya kami melukis apa saja yang kami inginkan.
Lalu kami berkeliling di sekolah, mencari guru-guru yang mau membeli batu-batu kami untuk digunakan sebagai pemberat kertas. Batu-batu ini kami jual seharga lima sen, sepuluh sen bahkan ada yang dua puluh sen. Sebuah batu karang raksasa kami lukis dengan motif polkadot, dan bisa kami jual seharga lima dolar. Ketika Desember tiba, kami telah mengumpulkan tiga pulu tuga dolar. Kami putuskan untuk memberikan uang itu pada sebuah tempat penampungan tunawisma lokal.
Ibuku menawarkan untuk mengantar temanku dan aku ke tempat penampungan itu, untuk menyerahkan uang tersebut. Ketika berhenti di situ, kami perhatikan banyak keluarga yang duduk di tepi jalan yang bersalju. Saat masuk ke dalam gedung, aku tak bisa melepaskan pikiranku dari apa yang baru saja aku lihat tadi. Aku terus teringat anak-anak kecil serta pria-pria dan wanita-wanita yang tidak punya tempat untuk tidur itu.
Di dalam, kami menemui wanita di resepsionis dan menyerahkan uang hasil klub kami padanya. Ia tampak sangat senang menerima sumbangan kami. Kami diajak berkeliling melihat-lihat tempat penampungan itu. Aku belum pernah melihat tempat seperti ini, jadi aku ingin tahu, seperti apa bagian dalamnya. Aku sangat heran melihat begitu banyak meja berderet untuk tempat orang-orang yang lapar itu. Mungkin ada lebih dari seratus meja di situ. Di dapur, para sukarelawan sedang membuat deretan kue jahe yang sepertinya tak ada habis-habisnya. Aku begitu takjub membayangkan bahwa untuk setiap kue jahe bahwa akan ada satu orang yang akan memakannya. Orang yang memerlukan makan malam dan tempat berteduh malam itu.
Keluar dari tempat penampungan itu, aku melihat seorang laki-laki duduk di trotoar yang tertutup salju. Ia mengenakan mantel hijau gelap yang kotor dan celana hitam yang penuh lumpur.
Keesokan harinya foto orang itu muncul di surat kabar. Aku tahu aku tak bisa melupakannya. Kuharap fotonya juga bisa mengingatkan orang-orang lain tentang betaopa mereka yang tak mempunyai rumah itu memerlukan bantuan.
Beberapa hari kemudian, seorang reporter surat kabar dan seorang fotografer datang ke sekolah kami dan memotret para anggota kelompok Batu Karang. Fota dan artikelnya muncul di koran keesokan harinya. Kami merasa bangga bisa melakukan sesuatu bagi para tunawisma di kota kami.
Sekolah kami menganggap apa yang telah kami lakukan itu bagus sekali, jadi mereka memulai suatu program untuk anak-anak. Sekarang anak-anak di sekolah kami aktif membatu di tempat-tempat penampungan dan organisasi-organisasi lain yang menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Sebuah usaha yang sederhana, seperti Batu Karang, lukisan, dan beberapa anak-anak yang mau peduli, membuatku menyadari bahwa tak ada kata terlalu muda/kecil - dan tidak banyak yang kita perlukan - untuk menciptakan perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar